Jayalah Pramuka Indonesia

Junjung Tinggi Dasa Darma...Tepati Janji hidup satya dama

slide

Jumat, 27 Mei 2011

Pramuka Uje

Lahir di Bukittinggi, 8 Oktober 1884. Pendidikan ELS dan HBS. Setelah mendalami Islam di Jeddah, tahun 1911 ia kembali ke tanah air. Setahun kemudian di kota Gadang ia mendirikan HIS (Holland Islandse School), yang diasuhnya sampai tahun 1915. Di Jakarta ia bekerja terakhir di Bataviasche Neewsblad dan sejak itu rajin menulis artikel.

Karier politiknya dimulai dalam Serikat Islam. Ketika masuk, ia langsung duduk sebagai anggauta pengurus. Namanya cepat terkenal karena pemikiran-pemikirann yang didukung oleh pengetahuan yang luas mengenai berbagai hal.

Tahun 1919 mendirikan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh bersama Semaun. Organisasi ini menuntut kepada Pemerintah Belanda supaya Indonesia segera didirikan DPR yang sesungguhnya. Ia juga mengorganiser pemogokan buruh di berbagai tempat seperti Semarang, Surabaya dan Cirebon.

Dalam konggres Islam di Garut tahun 1924 (diadakan berkat kerjasama antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah) ia menguraikan fungsi agama dan ilmu pengetahuan serta hubungan antara Islam dan Sosialisme. Ia melontarkan gagasan dibentuknya Pan Islamisme.

Tahun 1912-1924, Agus Salim duduk dalam Volksraad. Ia banyak mengecam tindakan-tindakan pemerintah yang banyak menyengsarakan rakyat. Ia juga menuntut agar bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi dalam Volksraad.

Pemandangannya mengenai nasionalisme dibentangkannya dalam konggres luar biasa Al Islam di Surabaya. Tahun 1925 ia menerbitkan harian Fajar Asia di Yogyakarta dan memimpin harian Hindia Baru yang terbit di Jakarta. Dalam konggres ia berpidato dalam bahasa Perancis sehingga membuat orang kagum atas kemahirannya menggunakan bahasa tersebut, sekaligus menaikkan nama Indonesia di luar negeri.

Kedudukan wanita dalam masyarakat menjadi perhatiannya. Ia menyerukan agar dalam lingkungan umat Islam dilakukan emansipasi. Dianjurkan dalam rapat-rapat yang dihadiri laki-laki dan perempuan tidak perlu diadakan tabir yang memisahkan keduanya.

Tahun 1930 an, pergerakan nasional mengalami masa suram. Pemerintah Belanda menjalankan politik tangan besi. Dalam situasi demikian beberapa partai menempuhh taktik kooperasi agar masih bisa bergerak. Agus Salim memilih taktik ini.

Menjelang masa zaman Jepang ia diangkat menjadi anggauta BPUPKI, kemudian berganti nama menjadi PPKI. Ia duduk dalam Panitia Sembilan dan menghasilkan Piagam Jakarta. Ia juga duduk dalam Panitia Perancang UUD dan sekaligus anggauta penghalus bahasa bersama Prof.Supomo dan Prof.Hussein Djayadinigrat.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, K.H. Agus Salim aktif mengambil bagian dalam bidang diplomasi. Ia duduk dalam kabinet sebagai Wakil Mentri Luar Negri, kemudian Mentri Luar Negri hingga Agresi Meliter II.

Maret 1947 ia diutus ke New Delhi Conference kemudian mengunjungi negara-negara Arab dengan tugas mengusahakan pengertian sedalam-dalamnya dari negara-negara Arab tentang Kemerdekaan Indonesia. Misi itu berhasil hingga negara-negara Arab menyokong RI di dalam persidangan PBB.

Waktu Belanda menduduki Yogyakarta, ia bersama-sama Presiden dan Wapres serta mentri-mentri ditangkap dan diasingkan ke Sumatra. Bersama Sutan Sjahrir, awalnya diasingkan di Brastagi kemudian dipindah ke Prapat dan akhirnya ke Bangka. Setelah pengakuan kedaulatan RI ia tidak aktif lagi dalam pemerintahan. Tahun 1953, ia memberi kuliah agama Islam di Cornell dan Princeton University di AS.

K.H. Agus Salim lebih meletakkan arti Islam sebagai pandangan hidup setiap muslim yang sadar akan tugas dan kewajibannya di tengah-tengah masyarakat bangsanya. Sebagai hasil penyelidikannya atau ijtihad yang dipeloporinya, pandangannya terhadap berbagai masalah agama bercorak tersendiri. Ia selalu berfikir tentang apa yang dilihatnya serta apa yang dialaminya.

Ia diangkat menjadi Guru Besar pada Perguruan Tinggi Islam Negeri di Yogyakarta. Tugas itu belum sempat dijalankannya, tanggal 4 Nopember 1954 K.H. Agus Salim meninggal dunia. Berkat jasa-jasanya ia dianugerahi Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Meski tidak sempat menjalankan tugas sebagai Guru Besar di PTIN, namun pengabdian K.H.Agus Salim sungguh lengkap untuk negri ini. Bagaimana tidak? Ia berjuang di Serikat Islam, Jepang, RI didirikan, Agresi Militer Belanda, emansipasi wanita hingga memberi kuliah saat Indonesia sudah merdeka. Tidak aneh lagi kalau namanya kini menjadi banyak dijadikan nama jalan besar di kota-kota besar di tanah air !!!

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar